Kardus

Share This Post

Share on facebook
Share on linkedin
Share on twitter
Share on email

Jakarta, 20:00

Gemerisik riuh terdengar berirama, kepakan sayap sorot lampu kamera seketika menyilaukan pandangan. Buram, itu yang dirasakan sang gadis. Senyum eloknya terukir dermawan, membuat setiap insan yang melihat terpana. Langkah kakinya mantap melangkah naik, satu demi satu anak tangga ia lalui dengan percaya diri.

 Lensa kamera bahkan segan untuk berpaling, menatap lekat gadis yang telah berdiri di atas panggung tersebut. Kini kedua maniknya tersorot ke arah penonton. Tersenyum hangat lalu menarik napas. Para penonton seketika mengunci mulut, menunggu kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Sang gadis menggenggam pengeras suara dengan erat, meyakinkan diri. “Selamat malam, perkenalkan nama saya Alma Anindira.”

***

Cirebon, 20:00 16 tahun yang lalu

Deru langkah kaki bergema bak kereta melaju menyayat udara. Meninggalkan kesan terburu-buru yang amat kentara. Walaupun ia merasa lelah namun senyum tak kuasa ia bendung. Perasaan menggebu, gembira memberikan suntikan semangat yang aneh. Seragam pegawainya telah kusut tapi ia tak peduli. Melangkah cepat namun hati-hati melewati lorong-lorong bangunan putih yang memiliki palang merah di puncaknya. Tak sabar menyaksikan hal yang ia tunggu selama ini.

Pria paruh baya tersebut mulai dipenuhi berbagai bayangan. Dadanya berdegup gembira membayangkan akan seperti apa hidupnya setelah ini, bersama anggota keluarga barunya. Apakah ia akan mengajarinya berjalan? atau apakah Ia akan bisa mengajaknya pergi berjalan-jalan? dan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keberlangsungan hidup sang anggota baru.

Hingga akhirnya ia telah berdiri di depan pintu kamar yang di dalamnya ada istrinya dan junior yang dinanti. Tak membuang waktu ia langsung membukannya, aroma khas rumah sakit dan obat-obatan seketika terperangkap dalam indra penciumannya. Panggilan kekhawatiran dari dirinya ketika masuk membuat sang wanita tersenyum lembut. kini di depannya telah terpampang istrinya yang sedang memeluk gumpalan selimut. Ia terpana sejenak lalu berjalan mendekat. “Maaf aku baru bisa datang,” sesalnya. Tugas di luar kota dan transportasi umum yang bermasalah membuatnya harus menghambat keinginannya untuk menemani istrinya saat melahirkan. Wajahnya termenung, perasaan menyesal mulai tergambar jelas diraut wajahnya dengan menyalahkan dirinya sendiri. Namun beruntungnya ia memiliki istri dengan hati yang selembut kapas, sang wanita hanya menggeleng pelan lalu tersenyum simpul, ia bahagia.

 “Yang penting kan kamu sudah ada di sini,” ucapnya lembut sambil menarik tangan suaminya pada anggota baru yang ada di pelukannya. Pria paruh baya tersebut terkesima, ia mengelus pipi sang bayi. Lembut, pikirnya.

Perasaannya campur aduk, ia seketika bingung harus berbuat apa. Sedih namun senang juga, takut akan apa yang terjadi ke depannya. Kini ia telah menjadi seorang ayah, banyak perubahan yang pastinya akan ia alami. Agak tak rela meninggalkan kehidupan lamanya yang bebas namun ia telah terlanjur menyayangi anggota barunya dan ingin melaksanakan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh agar harapan kecilnya tak menderita.

Meskipun begitu, ia tetap khawatir tidak bisa membesarkan anak ini dengan baik. Sang istri sepertinya menyadari kekhawatiran suaminya ia menggenggam tangan sang suami dan berkata, “Berdamailah dengan keadaan, apapun yang kamu benci belum tentu harus kamu jauhi. Apapun yang kamu inginkan juga tidak harus terkabulkan. Karena apapun yang kamu cintai tak harus dimiliki.” ia berhenti sejenak menatap suaminya lekat. “Sebab dunia ini sudah digariskan oleh-Nya, ketetapanNya adalah yang terbaik dan kita, manusia, hanya bisa berdoa dan berusaha.” Ujar sang istri sambil tersenyum.

“Yah, mau bagaimanapun, aku juga merasakan kekhwatiranmu itu. Tapi kalau tanpa rasa sakit, kita tidak akan pernah belajar menjadi kuat, tanpa rasa kecewa kita tidak akan pernah belajar menjadi dewasa.” pria paruh baya tersebut hanya terduduk tak bergeming, ia dengan pikirannya kini sedang bertarung dikarenakan kalimat istrinya. Istrinya hanya tertawa kecil, “ Semoga ia bisa tumbuh sesuai harapan kita dan sadar begitu besar orang tuanya menyayanginya.”

***

            Gelap, itu yang dilihat seorang gadis berusia 12 tahun yang sedang terduduk lemas. Ia mengerjapkan matanya berulang. Dimana ini? pikirnya lemah. Hawa dingin seketika menusuk kulitnya membuat bulu romanya berdiri. Hujan turun bersama petir yang memekakan pendengaran. Ia memeluk tubuh kecilnya dengan erat, berusaha mengabaikan suara-suara di luar sana. Menarik nafas lelah, tak ada kehangatan. Melihat sekeliling namun tak ada yang bisa dilihat. Pikirnya melayang, ia hanya bisa merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya bahkan tubuhnya yang basah malah memperburuk.

Matanya tertutup dengan mudahnya bagai tirai tanpa pengait. Tanpa harus mengecek lagi ia tahu bahwa ini di dalam gudang. Tempat berukuran 1×1 meter ini telah menjadi sahabat karibnya sejak ia masuk sekolah dasar. Bila ia telah melakukan kesalahan ia akan dipaksa ‘berteman’ dengan gudang ini. Tubuhnya oleng namun itu hanya membuat kulitnya bertabrakan dengan dinding gudang, sakit. Meskipun gelap rasanya ia bisa melihat tubuhnya yang dipenuhi luka akibat kekerasan fisik.

Menghembuskan nafas lelah ia kembali terbayang perkataan teman-temannya. Enak sekali sih jadi kamu, bisa semua nya. Alma pinter banget sih, keren! Coba aja aku bisa jadi Alma. Ntah mengapa ia merasa kesal setiap kali mendengar celotehan mereka yang tak tahu apa-apa. Pujian dan senyuman polos mereka membuatnyan muak. Terbayang pula wajah kedua orang tuanya. Ia menelan ludah.

Orang tuanya yang pekerja keras, orang tuanya yang selalu mempersiapkan segala sesuatu agar ia bisa belajar. Orang tuanya yang bahagia ketika ia memenuhi harapan mereka. Orang tuanya yang selalu bertengkar. Serta orang tuanya yang selalu memukulnya ketika ia tak bisa memenuhi ekspetasi mereka. Bahkan terkadang ia mendapat kekerasan verbal dan nonverbal tanpa alasan.

Keluarga yang harmonis itu tak pernah ia lihat. Orang tuanya telah bertengkar sejak ia masih di bangku taman kanak-kanak. Namun kekerasan verbal dan nonverbal ini baru dimulai saat ia kelas 4 Sekolah Dasar. Ingin kabur? tentu saja. Namun ia tak tahu harus ke mana. Rumah yang ia tempati seperti mengisolasi dirinya, jauh dari manapun. Bahkan dari satu tetangga ke tetangga lain pun jauh. Terkadang ia berpikir, apakah orang tuanya menyayanginya?

Di tengah benaknya yang sedang campur aduk tiba-tiba pintu gudang terbuka. Oh apakah sudah pagi? cepat sekali, pikirnya. Tapi di luar masih hujan, sebelum ia sempat menemukan jawaban, tangannya telah ditarik paksa ke luar. Di dalam keterkejutannya ia bisa melihat ibunya dengan ekspresi yang kusut. “Mulai sekarang kamu ikut bersama ibu” ucap wanita tersebut sembari menarik Alma. Merasa tak akan diizinkan bertanya ia hanya bersikap patuh mengikuti ibunya untuk naik sebuah mobil yang terlihat tak terawat itu. Mobil pun berjalan meninggalkan rumah tanpa sang ayah di samping mereka.

***

4 tahun kemudian

Luka lama sungguh mengakibatkan dampak negatif di masa depan. Setiap Alma mulai memandang, ia selalu terbayang segelintir kisah gelapnya. Menarik nafas dalam berulang, mencari ketenangan yang kemudian sirna dengan cepat. Setelah orang tuanya bercerai, Alma kecil dibawa oleh ibunya untuk tinggal di kota. Beruntung sang ibu memiliki tabungan yang cukup untuk menyewa sebuah kamar kecil dan menghidupi mereka dalam waktu yang lama.

Tak terbayang bagaimana perasaan Alma waktu itu. Melihat orang tuanya bercerai saat usia 12 tahun membuatnya merasa bersalah. Ia mulai menyalahkan dirinya karena perceraian itu. Di usianya yang masih belum matang tentu dengan mudahnya kesalahpahaman akan ia tangkap. Namun lambat laun ia mulai bisa memahami sudut pandang orang lain.

Datang ke sekolah baru di akhir tahun sekolah dasar tentu menimbulkan banyak rasa penasaran bagi lingkungannya. Perasaan rendah diri akibat masa lalunya belum sempurna hilang. Tapi di usianya sekarang, ia ingin disukai dan diterima oleh teman sebayanya. Sebab itulah ia mulai bangkit dan kembali menjadi anak yang berprestasi. Ibu nya pun mulai bersikap lebih lembut setelah bercerai dengan ayahnya. Dengan gigih sang ibu mencari pekerjaan untuk menyambung keberlangsungan ekonomi. Hidup Alma pun mulai terasa lebih nyaman dibandingkan sebelumnya.

Benar begitu, sebelum akhirnya ia naik ke jenjang sekolah selanjutnya. Dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Di mana hukum alam mulai kontras terlihat. Kehidupan remaja mulai menyapanya, di mana perasaan hatinya mulai tidak menentu dan cukup sensitif. Berhasil masuk ke sekolah unggulan dikarenakan nilainya yang cukup tinggi membuatnya senang. Alma merasa semua jerih payahnya telah terbayar dan berharap dapat menjalani hidupnya dengan tenang di SMP.

Namun yang terjadi di sekolahnya, ia sering kali merasa tak percaya diri dengan tubuhnya yang bisa dibilang cukup kecil di usianya. Efek kekerasan di masa lalunya membuat fungsi otaknya menurun dan tumbuh kembangnya terganggu. Ia menjadi sering lupa dan berat badan serta tingginya tak kunjung naik.

Dikarenakan kekurangannya tersebut ia dengan cepat menjadi buah bibir siswa yang lain. Begitu banyak panggilan tak mengenakan yang telah masuk lewat telinganya sehingga telah mengakar dalam hati. Hingga akhirnya ia telah masuk dalam fase terburuk yaitu pembully-an. Rasa berat hati untuk melangkah ke sekolah selalu muncul dikala ia akan berangkat. Perlakuan tak mengenakan dari orang-orang yang membullynya menghantui setiap gerakannya. Mengakibatkan dadanya terasa sesak setiap kali mendengar kata ‘sekolah’. Rasa khawatirnya naik secara drastis. Selalu takut salah bertindak karena merasa setiap orang menilainya.

Bukan hanya rasa khawatir yang naik, rasa kesepiannya mulai membuncah. Meluber bagai air rawa yang memberatkan hati juga fisiknya untuk bergerak. pola makan dan tidurnya pun berubah. Depresi, itu yang dirasakan Alma sekarang. Ia jadi mudah cemas dan kehilangan minat pada aktivitas yang ia sukai sehingga menyebabkan nilainya ambruk drastis. Ia tak ada keberanian sama sekali untuk melawan, kejadian masa lalunya masih tak lepas dari benaknya.

Sehingga pada suatu hari, orang-orang yang membully Alma mulai melewati batas. Merasa percaya diri karena korbannya tak pernah melawan, membuat mereka merasa bebas melakukan hal semena-mena padanya dikarenakan kontrol diri mereka yang rendah. Alma yang merasa ini sudah kelewatan mulai hilang kesabaran. Terlalu lama memendam emosi tentu akan membuat pelakunya muak. Seperti halnya sebuah balon, semakin lama ia diisi oleh angin ia akan semakin besar dan pada akhirnya akan meletus. Itulah hal yang dirasakan Alma sekarang, karena sudah merasa muak ia tanpa segan membalas mereka. Perkelahian pun akhirnya meletus setelah sekian lama.

Keributan yang terjadi tentu mendapat sorotan bagi orang-orang di sekitar mereka, termasuk sang guru BK. Setelah menahan perkelahian para siswa tersebut, ia pun langsung memanggil mereka ke ruang BK. Duduk di bangku ruangan tersebut membuat Alma gemetar. Ia tak tahu harus bersikap apa ketika ibunya di panggil ke sekolah mendapati putri tunggalnya berkelahi.

Apakah ibunya akan kecewa? apakah ia akan dipukul lagi? Alma langsung menggelengkan kepala kencang. Namun meskipun ibunya sudah berubah ia tetap takut kejadian yang lama terulang. Waktu yang tak ditunggu pun tiba, ibunya dan orang tua yang lain telah datang ke sekolah. Selama pemanggilan tersebut Alma hanya diam, menunduk. Takut untuk bertemu pandang dengan ibunya. Meskipun ibunya tak memarahinya sepulang itu, ia tahu bahwa keberadaan merugikan banyak orang.

***

            Esoknya ia tak ingin masuk sekolah, yang ia lakukan hanya mengunci diri di kamar. Begitu saja hingga beberapa hari pun terlewat. keluar kamar hanya untuk makan dan ke kamar mandi. Penampilannya kusut dan tak bersemangat. Bahkan muncul goresan-goresan baru di kulitnya dan terlihat menyakitkan. Sang ibu yang khawatir akan keadaan anaknya, memutuskan untuk membawa Alma ke psikiater. Alma awalnya menolak namun akhirnya ia ingin ikut juga ke sana. Sesampainya di psikiater Alma tak ingin berbicara apa-apa. Ruangan ber AC yang sangat nyaman itu malah membuatnya menjadi tak nyaman. Yang ada dipikirannya hanya ada pulang ke rumah dan menetap di kamarnya.

            Krisis kepercayaan diri yang dialami Alma meyakinkan sang psikiater bahwa anak ini memiliki penyakit pada mentalnya. Ia pun memberinya obat untuk di minum setiap hari. Dengan rajin sang ibu mengingatkannya untuk meminum obat yang diberi oleh psikiater tersebut. Tanpa pikir panjang Alma meminumnya.

Seminggu, 2 minggu, 3 minggu hingga tepat sebulan ia merasa ada yang aneh. Sesuatu kini mengganjal pikirannya dan tentu saja ia berpikir bahwa itu aneh. Obat ini aneh, pikirnya. Bukan hanya obat saja, ia juga merasa dirinya aneh. Alma pun berpikir bahwa obat ini yang telah merubahnya. Aneh, ia tak suka itu. Mungkin aku sudah ketergantungan? pasti begitu, pikiran itupun yang mendorong Alma untuk tak meminum obatnya lagi.

            Mogok minum obat yang dilakukan Alma tak diketahui oleh ibunya. Ketika sang ibu memberinya obat ia selalu memasukannya ke mulut lalu memuntahkannya. Tentu saja itu dilakukan di belakang ibunya. Waktu pun berlalu, sudah lama sejak ia meminum obatnya yang terakhir. Tanpa Alma sadari kesehatan mental makin memburuk. Sebuah bisikan selalu bergema di benaknya. Jangan minum, jangan minum obatnya, begitu yang Alma dengar. Karena bisikan itu akhirnya ia dengan terang-terangan menolak obat yang disodori oleh ibunya. Sang ibu yang sudah tidak tahan menghadapi penolakan dari anaknya akhirnya membiarkan Alma. Dan hal itu sungguh membuat sang ibu menyesal.

            Dadanya sesak, matanya berlinang. Ia akhirnya menyadari bahwa seharusnya ia tak membiarkan Alma begitu saja. Kejadian di depannya sungguh berhasil menohok hati seorang ibunya  yang terdalam. Bagaimana tidak? Saat ini anaknya, putri satu-satunya, harapannya, sedang menubrukkan kepalanya ke dinding dengan brutal. Teriakan ‘ingin mati’ yang Alma lontarkan membuat hatinya hancur sekejap. Dengan panik ibunya menarik Alma dan memeluknya. Namun Alma memberontak dan berteriak agar sang ibu melespaskannya. Ibunya menangis dan terus mempererat pelukannya. Hingga setelah sekian lama Alma pun tenang. Sang ibu menatap lekat anaknya lalu membulatkan tekad.

***

            Alma terbangun di sebuah ruangan, ia langsung tersadar bahwa ini bukan rumahnya. Tiba-tiba ada seseorang yang datang. Orang itu menyapa namun Alma hanya diam. Di mana ini? Siapa dia? ia pun langsung mundur ke dinding belakangnya. “Aku di mana?” tanya nya setelah memberanikan diri. Orang itu menjawab namun Alma tak paham. Rumah sakit jiwa? pikirnya bingung. “Tapi aku bukan orang gila!” tatapnya marah. Orang itu hanya terseyum “Iya, tapi kamu ini istimewa dan punya kelebihan” ucapnya lembut. Hati Alma terenyuh, tak pernah ada yang menyebutnya spesial. Bahkan orang tua nya. Ntah mengapa ia mulai merasa aman di sini.

            “AKU BENCI OBAT, JANGAN DEKATI AKU!” teriak Alma menggelegar ketika seorang perawat wanita mendekatinya. Dengan keras kepalanya memberontak. Perasaan marah meliputinya. Namun tiba-tiba sang perawat memeluknya, menenangkannya, “Tenang saja, di sini saya ingin bantu Alma kok, bukannya kasih obat” ia terseyum hangat “Sekarang mandi dulu yuk, habis itu mau jalan-jalan gak?” Alma terdiam, ia hanya mengangguk tak paham harus bereaksi apa. Perawat wanita tersebut dengan sabar merawat Alma. Begitu terus setiap harinya, tanpa bosan.

Hingga Alma benar-benar merasa istimewa, apalagi ia bebas mendapatkan kamar pribadi. Setiap hari pasti sang perawat wanita datang, memandikannya, mengajaknya jalan-jalan, serta mengobrol dan menghabiskan waktu dengan Alma. Lalu akan ada yang datang menggantikannya, seorang perawat pria. Ia selalu dengan hangat menemani Alma dan menceritakan hal-hal menarik yang sama sekali belum pernah ia dengar.

            Tak pernah terbayang oleh Alma bahwa tinggal di rumah sakit jiwa bisa sehangat ini. Pada awalnya ia masih memberontak apalagi saat diberi obat. Namun lambat laun ia mulai terbiasa. Walaupun pihak rumah sakit tak mengizinkan ia dijenguk namun ia ternyata menemukan sosok ibu dan ayah dari perawat di sini. Atau bisa dibilang sebuah keluarga.

***

            “ Lalu setelah keadaan saya membaik, pihak rumah sakit pun mengizinkan saya untuk pulang. Awalnya agak berat memang untuk masuk kembali setelah sekian lama. Namun tak akan ada kemajuan bila saya tetap merasa takut”. Alma tertawa kecil, ia menatap penontonnya dengan lekat. “Memang betul bahwa saya adalah ODGJ (Orang dalam Gangguan Jiwa), bahkan sampai sekarang tapi saya tidak merasa malu dengan fakta itu. Karena hal itulah yang membuat saya menjadi kuat”.

            “Tanpa rasa sakit, kita tidak akan pernah belajar menjadi kuat, tanpa rasa kecewa kita tidak akan pernah belajar menjadi dewasa” para penonton terkesiap, menunggu kalimat yang akan disampaikan selanjutnya. Alma tersenyum “Berdamailah dengan keadaan, apapun yang kamu benci belum tentu harus kalian jauhi. Apapun yang kalian inginkan juga tidak harus terkabulkan. Karena apapun yang kalian cintai tak harus dimiliki. Sebab dunia ini sudah digariskan olehNya, ketetapanNya adalah yang terbaik dan kita, manusia, hanya bisa berdoa dan berusaha. Saya tahu kalian pasti berhasil mengahadapi semua ujian yang datang”. Ia pun mengakhiri kalimatnya yang disambut oleh tepuk tangan riuh. Cahaya kamera berkedip setiap detik seperti tak ingin melepaskan wajah gadis 16 tahun itu.

            Dia adalah Alma Anindira seorang gadis berumur 16 tahun dengan pengalaman yang tentunya tak banyak orang memilikinya. Semangatnya yang putus nyambung dalam hidupnya yang berliku menghiasi kisahnya. Meski telah menghadapi kemunduran yang drastis, ia tak takut ataupun ragu untuk kembali melangkah maju. Kini di usianya yang masih cukup belia, ia telah menjadi motivator bagi orang-orang di sekitarnya terlebih lagi yang memiliki masalah yang sama dengannya. Hidupnya kian membaik dan tak ada seorangpun yang ingin menganggunya lagi.

Tak ada seorang pun yang harus merasa buruk ketika ingin menjadi lebih baik.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch